Kamis, 24 Mei 2012

musik cadas

Musik Cadas Tak Harus Beringas
Eko Hendrawan Sofyan | Jumat, 25 Mei 2012 | 08:29
Kompas/ELD
Penampilan grup metal Burgerkill pada festival musik Bandung Berisik, Jumat (18/5/2012), di Pangkalan Udara Sulaiman, Kabupaten Bandung, Jawa Barat,.
JAKARATA, KOMPAS.com -- Buat pendengar musik rock dan metal, tak puas rasanya kalau menonton langsung aksi band idola tetapi tidak ”moshing” atau saling menabrakkan badan ke orang lain. Jangan khawatir, itu hanya aksi sesaat untuk menikmati gempuran musik energi tinggi, bukan kerusuhan.
Pekan lalu, Bandung baru saja dientakkan oleh pergelaran musik cadas Bandung Berisik MMXII di Lapangan Udara Sulaiman. Selama dua hari berturut-turut, sekitar 20.000 penonton disuguhi aksi cadas band-band metal semacam Burgerkill, Mesin Tempur, Something Wrong, dan Rajasinga.
Aksi band-band yang bagi sebagian orang bergaya nyanyi ”seperti orang marah” itu justru berlangsung lancar. Anak muda yang memenuhi area depan panggung boleh bersenggolan, bertubrukan, dan bernyanyi bersama. Tetapi, mereka tak baku hantam. Ancaman keamanan baru terlihat setiap ada copet yang tertangkap. He-he-he.
Suasana aman tenteram seperti itu tidak hanya terjadi pada Bandung Berisik pekan lalu. Acara berjudul sama yang diadakan tahun sebelumnya pun berjalan asyik tanpa ricuh. Di kota lain, seperti Solo, Jawa Tengah, lewat acara Rock In Solo yang menampilkan band dari AS Death Angel juga berlangsung tertib. Begitu juga dengan Hammersonic di Jakarta.
Ajaibnya, pertunjukan di lapangan terbuka yang menampilkan band pop, baik yang agak ngerock, ”metal—melayu total” maupun yang menye-menye total justru biasanya diwarnai dengan keributan antarpenonton. Tak jarang polisi sampai harus menghentikan pentas.
Lapangan Merdeka, Kota Sukabumi, Jabar, misalnya, sering dipakai untuk mementaskan aksi band-band ternama seperti Gigi, Sheila on 7, Ungu, dan Wali. Pentas-pentas itu biasanya digelar Sabtu sore tanpa tiket alias gratis. Tetapi biasanya, sore di akhir pekan seperti itu menyisakan kerja ekstra bagi polisi untuk melerai remaja yang berkelahi di depan panggung saat band sedang tampil.
Padahal, secara kasat mata, penampilan penonton yang datang ke acara metal lebih sangar. Rambut gondrong, kaus bergambar tengkorak atau mayat hidup, dan kalimat pada kaus menyiratkan kebencian adalah atribut umum. Tetapi, saat band favorit tampil, mereka justru terlihat kompak.
Stigma
Meski demikian, bukan berarti pertunjukan musik cadas di Indonesia benar-benar bersih dari kerusuhan. Film dokumenter Global Metal (2008) besutan antropolog Sam Dunn memaparkan keributan di sekitar Stadion Lebak Bulus saat Metallica tampil pada 1991.
Sejarah kelam musik metal juga kembali terjadi pada 2008 di Bandung. Saat itu, sebelas metal heads kehabisan napas saat berdesak-desakan di pintu keluar gedung Asia Afrika Culture Center pada konser peluncuran album perdana band Beside. Tetapi, band ini cepat berbenah. Pada konser-konser mereka berikutnya, mereka mengatur alur pintu masuk dan keluar, serta mewajibkan adanya mobil pemadam kebakaran dan ambulans.
Stigma negatif sebagai biang kerok keributan pun melekat. Bukan cuma itu, simbol-simbol yang tersirat dalam lirik lagu pun jadi alasan buat aparat untuk memperketat izin pertunjukan musik cadas.
Addy Gembel, vokalis band Forgotten, pernah mengisahkan betapa sulitnya mendapat izin dari polisi. ”Alasannya, mereka khawatir bakal ada keributan lagi. Izin semakin sulit kalau panitia mengundang Forgotten. Supaya bisa tetap main, kami diminta untuk tidak memainkan lagu tertentu,” kata Addy, yang juga sudah menghasilkan novel ini.
Band Seringai asal Jakarta juga punya cerita tak sedap di Bandung sampai-sampai mereka membuat lagu berjudul ”Dilarang di Bandung”. Pada 2008, polisi di Bandung sempat menangkap penggemar yang memakai kaus Seringai karena dianggap menyindir institusi itu.
Solidaritas
Stigma itu pelan-pelan coba diruntuhkan oleh para metalheads sendiri. Beberapa konser metal berskala nasional dan internasional digelar. Hasilnya: tak terjadi lagi keributan yang meresahkan.
Iman ”Kimung” Rahman dari penerbit Minor Books yang banyak mengeluarkan buku-buku bertema metal underground, menuturkan, penggemar musik cadas adalah kaum minoritas jika dibandingkan penikmat musik pop. Oleh karena itu, mereka secara tidak sadar mengembangkan solidaritas di antara mereka. Solidaritas inilah yang membuat beberapa penyelenggaraan konser metal berjalan lancar.
”Ada perasaan saling menjaga sesama anak metal. Rasa itu sebenarnya terbentuk dari fanatisme penggemar. Karena itulah, mereka ingin acara yang menampilkan musik kegemaran mereka bisa berlangsung dengan aman. Biasanya justru bukan penggemar sejati yang menyulut keributan,” kata Kimung yang pernah memperkuat band hardcore Burgerkill ini.
Kimung, yang juga guru sejarah dan geografi di SMP Cendekia Muda, Arcamanik, Bandung, ini tertawa menanggapi simbol-simbol yang umumnya lekat dengan kekerasan, kematian, sampai spiritualisme. Menurut dia, lirik yang lekat dengan hal negatif mencerminkan hal yang terjadi di kehidupan nyata. Sebaiknya, lirik-lirik dan gambar yang ada dalam album metal dicermati dengan cerdas.
”Banyak murid saya yang bertanya tentang musik bawah tanah. Mereka juga tahu kalau lirik metal itu lekat dengan citra satanisme. Tetapi, mereka juga mau saya ajak shalat berjamaah setiap siang,” celetuk Kimung.
Begitulah, mendengar musik cadas tidak harus beringas, tetapi nikmatilah dengan cerdas…. (HEI)
 
Sumber :
Kompas Cetak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar